Jakarta - Muhammadiyah akan menggelar Muktamar ke-47 di
Makassar awal Agustus nanti. Lewat perhelatan Muktamar ini, ormas yang
didirikan Kyai Ahmad Dahlan itu akan memilih Ketua Umum ke-15.
Sejak didirikan tahun 1912, Muhammadiyah sudah memiliki 14 Ketum sampai saat ini. Sosok Ketum terakhir adalah Din Syamsuddin yang memastikan tidak akan maju lagi di Muktamar yang akan digelar di Makassar nanti.
Sejak didirikan tahun 1912, Muhammadiyah sudah memiliki 14 Ketum sampai saat ini. Sosok Ketum terakhir adalah Din Syamsuddin yang memastikan tidak akan maju lagi di Muktamar yang akan digelar di Makassar nanti.
Berikut Ketum Muhammadiyah dari waktu ke waktu :
1.
KH Ahmad Dahlan (1912-1923)
Ahmad Dahlan
yang bernama kecil Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak
kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa
Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan
dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di
sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah.
Pada usia 20
tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan
(suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat
nama baru sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun
diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun
1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan
dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Dahlan kemudian
sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan
hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan
memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan
seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara
seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk membangun
upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih membina
angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan
juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan
bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan
ummat Islam di Indonesia.
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
§ KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat
Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar
dan berbuat;
§ Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya,
telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan
dasar iman dan Islam;
§ Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori
amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan
kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
§ Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita
(Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
2.
KH Ibrahim (1923-1932)
Kyai Haji
Ibrahim adalah ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad
Dahlan. KH. Ibrahim adalah ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), ahli seni baca
Al-Quran (qira'at), serta mahir dalam bahasa Arab. Pada periode
kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak didirikan di berbagai tempat
di Indonesia.
3.
KH Hisyam (1934-1936)
Kiai Haji
Hisyam adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan. Pada umur 61 tahun dia
terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin
Muhamadiyah selama tiga tahun.
Dalam masa
periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga
tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum
sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool
Muhammadiyah sebagai lanjutannya.
Saat pemerintah
kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka
Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan,
Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an
Muhammadiyah untuk menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan
Hollands Inlandse School met de Bijbel.
4.
KH Mas Mansyur (1937-1942)
Mas Mansyur
dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah
ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1937. Terjadi pergeseran era
kepemimpinan di bawah komando Mansyur.
Pergeseran
kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar
Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif
dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan
Muhammadiyah. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansyur juga
banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan
progresif.
5.
Ki Bagoes Hadikoesoemo (1944-1953)
Pada tahun
1937, Ki Bagoes diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil Ketua PP
Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang untuk
menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus mengisi posisi ketua
umum melalui mekanisme mukmatar darurat. Posisi ini dijabat hingga tahun 1953.
Semasa menjadi
pemimpin Muhammadiyah, Ki Bagoes termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI. Ki
Bagus Hadikusumo sangat besar peranannya dalam perumusan Muqadimah UUD 1945
dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan.
Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu dalam Muqaddimah
UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
6.
Buya AR Sutan Mansur (1953-1959)
Tercatat selama
masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) Sutan Mansur berhasil merumuskan
khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha
menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk
dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan
organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan
kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya
manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang
fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu
mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang
tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai
sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang
belum ditemukan pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak
mengikat anggota Muhammadiyah.
7.
KH Yunus Anis (1959-1962)
Selama periode
kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah.
Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih Usman,
dan kemudian diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang
bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.
8.
KH Ahmad Badawi (1962-1968)
KH Ahmad Badawi
adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965. Citra
politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut,
karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi
yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra
ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh
anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu
berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi
realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan
urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam
beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama.
Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat
dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa
Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang
kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan
Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden
Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di
bidang agama.
9.
KH Faqih Usman (1968-1968)
Faqih Usman
banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengembangan
Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak
Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan
pergaulannya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat,
seperti Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.
Pada tahun
1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya.
Pada tahun 1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas)
bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad.
Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil
dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam
Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus
Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun
1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan.
Faqih Usman
banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya
Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim
Perdanakusumah sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951
ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air
yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia
dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April
l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri
Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan
Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU
menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah
diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang
terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya
justru mempercepat proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
10.
KH AR Fachrudin (1968-1990)
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujungpandang,
Fachruddin terpilih sebagai ketua. Hampir seperempat abad ia menjadi pucuk
pimpinan Muhammadiyah, sebelum digantikan oleh almarhum KH Azhar Basyir.
Semasa hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih
dalam ber-Muhammadiyah. Sikap hidup beliau yang teduh, sejuk, ramah, menyapa
siapa saja, sering humor, dan bersahaja, adalah pantulan dari mutiara terpendam
dalam nuraninya.
AR tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di
Yogyakarta, walaupun masih banyak Muktamirin yang mengharapkannya. Ia berharap
ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Setalah tidak menjabat sebagai
Ketua PP Muhammadiyah, dan menjabat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah, Pak AR
masih aktif melaksanakan kegiatan tabligh ke berbagai tempat. Hingga akhirnya,
penyakit vertigo memaksanya harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun,
dalam keadaan demikian, sepertinya beliau tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada
17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.
11.
KH Ahmad Azhar Basyir (1990-1995)
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun
1995, Azhar Basyir terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR
Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir
menyatakan bahwa Muhammadiyah juga menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya
Hamka dalam buku Tasauf Modern. Menurutnya, orang dapat saja melakukan kegiatan
yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan dzikir.
Demikianlah
ketegasan tokoh ini dalam menetapkan garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui
gagasan dan pemikirannya itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak
menguasai ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam seumpama
sumur yang tak surut ditimba.
12.
Prof Dr Amien Rais (1995-1998)
Amien Rais dikenal sebagai cerdik cendekia terkemuka
yang telah menempatkannya di posisi Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia), yang lahir dan besar dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi
politik dan perekonomian yang sudah terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat
bagi demokratisasi mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak populer dan
bersuara lantang tentang silang sengkarut praktik KKN (korupsi, kolusi,
Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi serakah kekayaan negeri yang
sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing seperti Busang dan
Freeport . Seperti resiko yang diduga banyak orang, Amien Rais kemudian
terpental dari posisinya di ICMI.
Namun kehadirannya di Muhammadiyah dan
lompatan-lompatan gagasannya justru dianggap sejalan dengan watak gerakan
pembaharuan yang kritis dan korektif, hal itu kemudian menuai dukungan penuh.
Maka tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung di
Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan isu besar, yakni perlunya suksesi
kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat itu sebab gurita kepemimpinan
Orde Baru masih sangat mencengkeram. Keberaniannya mengambil resiko yang tak
jarang bahkan mengancam jiwanya, diakui suami Kusnariyati Sri Rahayu ini
sebagai sikap amal ma'ruf nahi mungkar yang sesungguhnya amanat dan sekaligus
ruh gerakan dakwah Muhammadiyah. Aminen Rais juga merasa bahagia menerjang
segala resiko perjuangannya karena mendapat support penuh dari istri dan kelima
putra-putrinya: Ahmad Hanafi, Hanum Salsabilla, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia,
dan Ahmad Baihaqi.
Dapat dikata, aktivitas bermuhammadiyah Amien Rais
tidak pernah terlepas dari pandangan keprihatinannya terhadap kehidupan politik
nasional yang menurutnya perlu direformasi untuk menghindari keterpurukan
bangsa yang semakin dalam. Setelah tumbangnya Rezim Orde Baru dengan mundurnya
Soeharto dari jabatan presiden selama 32 tahun, situasi politik berlangsung
mencekam dan sangat meresahkan. Maka bersama berbagai komponen tokoh bangsa
lainnya Amien Rais mendirikan Majelis Amanat Rakyat (MARA) untuk mencari solusi
terbaik pasca reformasi. Tak sedikit yang mengaggap sudah kepalang tanggung
jika Amien Rais harus berhenti hanya sampai disitu, atas desakan dari berbagai
komponen bangsa yang menginginkan perubahan paradigma politik Indonesia, Amien
Rais kemudian mendirikan partai politik yang diberi nama Partai Amanat Nasional
(PAN). Sebagai konsekuensi dari langkah politik itu, Amien Rais harus
melepaskan posisi puncak di Muhammadiyah.
13.
Prof Dr KH Ahmad Syafii Maarif (1998-2005)
Syafii Maarif
adalah figur ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap
pergulatan dengan ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah
masyarakat (setidaknya masyarakat Yogyakarta) dia lebih dikenal sebagai seorang
agamawan.
Ketika
reformasi di Indonesia sedang bergulir, Amien Rais yang saat itu menjabat
sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus banyak melibatkan diri dalam
aktivitas politik di negeri ini untuk menjadi salah satu lokomotif pergerakan
dalam menarik gerbong reformasi di Indonesia.
Muhammadiyah
harus diselamatkan agar tidak terbawa oleh kepentingan-kepentingan jangka
pendek. Pada saat itulah, ketika Muhammadiyah harus merelakan Amien Rais untuk
menjadi pemimpin bangsa, maka Syafi'i Ma'arif menggantikannya sebagai Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, ia terpilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah melalui Sidang Pleno Diperluas yang diselenggarakan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Ia harus melanjutkan tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sampai
Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Pada Muktamar
ke-44 tahun 2000 ia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
untuk periode masa jabatan 2000-2005. Setelah Muktamar ke-45 di Malang, jabatan
Ketua PP Muhammadiyah berganti sebutan menjadi Ketua Umum.
14.
Prof Dr KH Din
Syamsuddin (2005-sekarang)
Sebagai
cendekiawan muslim yang cukup konsen mendorong proses demokratisasi, Din
Syamsuddin merasa berkepentingan untuk turut mengawal arah perkembangan dan
kemajuan proses demokrasi di negara yang memiliki pemeluk Islam terbesar di
dunia ini. Ikhtiar mulia ini, tercermin dalam sebuah statemennya: Kemenangan
politik Islam di Indonesia tidak hanya ditandai oleh perolehan suara
partai-partai Islam dan penguasaan posisi politik kenegaraan. Tapi pada sejauh
mana nilai-nilai Islam seperti keadilan, kebenaran dan persamaan dapat menjadi
bagian dari watak bangsa. Ini yang harus terus diperjuangkan bersama
seluruh komponen bangsa.Sementara di kancah internasional, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah menorehkan kiprah yang tak sedikit dalam usahanya merajut relasi konstruktif dan menyuarakan urgensi hubungan damai antar pemeluk agama melalui berbagai forum yang domotorinya seperti World Peace Forum/ WPF, Asian Committee on Religions for Peace/ ACRP, Tokyo. World Conference on Religions for Peace/ WCRP, New York. World Council of World Islamic Call Society, Tripoli. World Islamic People's Leadership, Tripoli. Strategic Alliance Russia based Islamic World. UK-Indonesia Islamic advisory Group.